Jumat, 21 Oktober 2016

Kisah Orang Hina di Mata Manusia, Namun Mulia di Sisi Allah

Orang Hina di Mata Manusia, Namun Mulia di Sisi Allah
Orang Hina di Mata Manusia, Namun Mulia di Sisi Allah - Perbudakan adalah suatu kondisi dimana seseorang bisa disuruh apa saja oleh majikannya. Biasanya orang-orang akan menganggap budak itu rendah derajatnya, compang-camping pakaiannya, dan juga buruk rupanya. Akan tetapi itu semua belum tentu benar.

Kisah Orang Hina di Mata Manusia, Namun Mulia di Sisi Allah inilah contohnya. Kisah ini menceritakan adanya seorang budak yang tidak terurus dan dianggap hina oleh semua orang, tetapi sejatinya budak ini memiliki derajat yang tinggi di sisi Allah SWT. Saat ia bermunajat kepada Allah, Allah langsung mengabulkannya. Langsung saja, berikut kisahnya.

Diceritakan dari Abdullah bin Mubarok., bahwasanya beliau berkata:

Suatu saat aku berada di Makkah. Kebetulan disana terjadi krisis ekonomi karena lama tidak turun hujan. Masyarakat berbondong-bondong datang ke Arafah untuk melakukan shalat istisqo'. Mereka tinggal di Arafah selama tujuh hari, tetapi tetap tidak turun hujan, bahkan situasi menjadi lebih berat.

Setelah shalat Jum'at, mereka datang ke tanah Arafah. Tiba-tiba aku melihat diantara mereka ada seorang laki-laki yang hitam kulitnya, lemah badannya sedang melakukan shalat dua raka'at, kemudian berdo'a kepada Tuhannya. Setelah berdo'a ia bersujud. Dalam sujudnya ia berkata: "Ya Allah, demi kemuliaan-Mu, aku tidak akan mengangkat kepalaku dari sujud, hingga Engkau menurunkan hujan untuk para hamba-Mu."

Kemudian aku melihat ada segumpal awan yang mulai tampak. Kemudian berkumpul gumpalan-gumpalan awan yang lain, dan akhirnya turunlah hujan yang sangat deras seperti dicurahkan dari langit. Laki-laki itu memuji-muji kepada Allah, lalu pergi. Aku mengikuti dibelakangnya. Aku melihat ia masuk ke suatu tempat yang di dalamnya ada pedagang budak. Setelah aku mengetahui tempatnya, kemudian aku pun pulang.

Pada keesokan harinya, aku berangkat pagi-pagi dengan membawa sejumlah uang dirham dan dinar. Aku datang ke rumah pedagang budak dan aku berkata kepadanya: "Sungguh aku membutuhkan seorang budak yang akan aku beli." Si pedagang menawarkan kepadaku sebanyak 30 budak. Aku bertanya: "Apakah masih ada yang lain?"

Pedagang menjawab: "Tinggal seorang budak yang cacat, tidak ada seorangpun yang dapat mengajaknya bicara."

Aku berkata: "Tunjukkan dia kepadaku!"

Si pedagang mengeluarkan budak itu, yang tidak lain adalah budak yang pernah aku lihat.

Aku bertanya: "Seharga berapa budak ini engkau beli?"

Si pedagang menjawab: "Dua puluh dinar. Untukmu cukup engkau beli dengan sepuluh dinar saja."

Aku berkata: "Tidak, akan tetapi aku mau menambahnya menjadi dua puluh tujuh dinar."

Si pedagang setuju, kemudian aku beli dengan harga tersebut. Selanjutnya tangan si budak aku pegang dan aku ajak pulang.

Budak itu berkata kepadaku: "Wahai majikanku! Untuk apa engkau membeli aku, padahal aku tidak mampu melayanimu?"

Aku menjawab: "Aku membelimu bukan untuk melayaniku, akan tetapi sebaliknya aku ingin melayanimu dan aku anggap engkau sebagai majikanku."

Si budak bertanya: "Karena apa engkau melakukan itu?"

Aku menjawab: "Karena aku telah melihatmu kemarin, engkau berdo'a kepada Allah dan Allah mengabulkan do'amu, sehingga aku tahu kemuliaanmu di sisi Allah."

Si budak bertanya: "Benarkah engkau melihat kejadian itu?"

Aku menjawab: "Iya, benar adanya."

Si budak bertanya: "Apakah engkau akan memerdekakanku?"

Aku menjawab: "Engkau merdeka karena Allah SWT."

Kemudian aku mendengar suara, dimana aku tidak melihat siapa yang berbicara, ia berkata: "Wahai Ibnu Mubarok, bergembiralah! Allah telah mengampunimu." Sementara si budak mengambil wudhu secara sempurna dan melakukan shalat dua raka'at, kemudian berkata: "Alhamdulillah! Ini adalah kemerdekaan dari majikanku yang kecil, maka bagaimana kemerdekaan dari Majikanku Yang Maha Besar."
Baca juga: Kisah Seorang Wali yang Suka Menyendiri
Selanjutnya budak itu mengambil air wudhu lagi dan shalat dua raka'at, lalu mengangkat kedua tangannya ke arah langit dan berdo'a: "Wahai Tuhanku, Engkau mengetahui bahwa aku telah menyembah-Mu selama 30 tahun. Dan sesungguhnya ada perjanjian di antara aku dan Engkau, agar Engkau tidak membuka tabir rahasiaku. Oleh karena Engkau telah membukanya, maka cabutlah nyawaku untuk menghadap-Mu."

Seketika itu juga si budak langsung tersungkur, tidak sadarkan diri. Ternyata dia meninggal dunia. Kemudian aku mengkafaninya dengan cara yang kurang baik. Selanjutnya aku shalatkan dan memakamkannya.

Ketika aku tidur, aku bermimpi bertemu seorang laki-laki tampan yang mengenakan baju bagus disertai seorang laki-laki besar yang juga mengenakan pakaian bagus. Keduanya saling meletakkan tangannya di pundak kawannya (berangkulan).

Laki-laki tampan itu bertanya kepadaku: "Wahai Ibnu Mubarok! Apakah engkau tidak merasa malu kepada Allah?" Kemudian ia berjalan. Aku bertanya kepadanya: "Siapakah engkau?"

Ia menjawab: "Saya Muhammad Rasulullah dan ini bapakku, Ibrahim."

Aku berkata: "Bagaimana aku tidak merasa malu, sedangkau aku telah memperbanyak melakukan shalat."

Laki-laki itu berkata: "Aku seorang wali Allah yang meninggal. Engkau tidak mengkafaninya secara baik."

Pada pagi harinya, aku keluarkan jenazah budak itu dari kuburnya, dan aku beri kain kafan yang baik dan bersih serta menshalati dan memakamkannya kembali. Mudah-mudahan Allah merahmatinya.

Hikmah cerita: Ini adalah suatu contoh perilaku seorang wali yang selalu merahasiakan status dirinya sebagai wali.

Kisah ini memang benar adanya, dan kebanyakan di zaman dahulu para waliyullah memang merahasiakan statusnya. Banyak diantara mereka yang menyamar menjadi pengemis, anak kecil, wanita tua, bahkan seorang budak seperti contoh cerita diatas. Oleh karena itu, kita tidak boleh menilai seseorang dari luarnya saja, belum tentu orang yang kita nilai buruk tersebut lebih baik dari kita. Semoga terinspirasi.

Artikel Terkait

Salah satu santri TPQ Rahmatul Ihsan yang ingin berbagi pengetahuan di dunia maya.

Tambahkan komentar Anda
EmoticonEmoticon