Selasa, 17 Januari 2017

Kisah Putra Raja yang Zuhud

Kisah Putra Raja yang Hidup Zuhud - Zuhud adalah cerminan seseorang yang tidak memandang kehidupan dunia. Ia tidak memikirkan kenikmatan harta maupun kedudukan yang telah ia peroleh, sebab yang ada difikirannya hanya beribadah kepada Allah.

Di zaman sekarang, orang-orang seperti ini sangat jarang ditemui, kebanyakan dari mereka masih memikirkan kehidupan di dunia seperti mengumpulkan harta sebanyak-banyaknya namun enggan untuk bersedekah.

Dan Kisah Putra Raja yang Zuhud ini adalah contoh seorang pemuda yang hidup zuhud dimana sebenarnya ia merupakan putra dari seorang raja yang kaya raya. Berkut kisahnya!

Cerita Islami: Kisah Putra Raja yang Zuhud

Diriwayatkan dari salah seorang yang saleh, bahwasanya ia berkata:

Aku adalah salah seorang penduduk Baghdad. Aku mempunyai rumah kecil yang sudah rusak. Aku ingin membangun salah satu dari tembok rumah itu yang sudah runtuh. Kemudian aku keluar menuju tempat pangkalan tukang-tukang bangunan, untuk mencari laki-laki yang dapat membangun tembok itu. Aku melihat seorang pemuda yang kurus namun wajahnya bersih. Aku datang mendekatinya dan berdiri di depannya seraya berkata:

"Wahai anak muda, apakah engkau mau bekerja di tempatku?"

"Iya, aku mau." jawab pemuda itu.

"Mari kita berangkat!. Mudah-mudahan Allah memberi berkah." tuturku kepadanya.

"Aku mempunyai persyaratan yang ingin aku sampaikan kepadamu." kata pemuda itu.

"Apa persyaratan itu?" tanyaku kepadanya.

"Aku minta ongkos sebesar satu dirham lebih satu daniq (seperenam dirham). Dan apabila sudah adzan shalat, biarkan aku untuk melakukan shalat dengan berjama'ah." jawabnya.

"Iya, persyaratan itu aku terima." kataku kepadanya.

Setelah melakukan perjanjian, aku pulang bersamanya ke rumah. Ternyata, ia bekerja sangat baik yang aku belum pernah melihat seperti itu. Juga, aku belum pernah melihat hasil pekerjaan yang lebih baik daripada hasil kerja pemuda itu. Aku menawarkan makanan kepadanya, ia tidak mau. Ternyata ia selalu berpuasa.

Ketika terdengar suara adzan shalat Dhuhur, ia berkata: "Wahai majikanku! Ini adalah waktunya shalat seperti yang aku persyaratkan."

"Iya, silahkan." jawabku.

Ia kemudian melepaskan sabuk dan mengambil air wudhu' dengan wudhu' yang sangat baik. Aku belum pernah melihat wudhu' yang sebaik itu. Setelah itu, ia keluar menuju masjid untuk shalat berjama'ah. Selesai shalat, ia bekerja lagi sampai mendengar adzan shalat Ashar. Ia pun mohon izin kepadaku untuk melakukan shalat Ashar. Setelah aku memberikan izin, ia pun menuju masjid untuk shalat berjama'ah. Setelah shalat, ia pun bekerja lagi.

Aku bertanya kepadanya: "Wahai anak muda, kekasihku! Sesungguhnya kerja tukang-tukang bangunan itu hanya sampai waktu Ashar, kenapa engkau bekerja terus tanpa beristirahat?"

Si pemuda menjawab: "Subhanallah! Sesungguhnya aku selalu bekerja sampai malam hari."

Setelah malam hari tiba, aku mengeluarkan uang dua dirham dan aku berikan kepadanya.

"Apa ini, wahai majikanku? Aku telah berjanji kepadamu ongkos satu dirham lebih satu daniq," kata si pemuda.

"Aku berikan dua dirham kepadamu karena engkau bekerja dengan sangat baik," jawabku.

"Wallahi, aku tidak akan senang menerima ongkos yang melebihi sedikitpun dari ongkos yang telah aku janjikan kepadamu," sahut si pemuda.

Pemuda itu hanya mengambil satu dirham lebih satu daniq, kemudian pergi. Pada pagi harinya, aku datang lagi ke pangkalan para tukang bangunan. Akan tetapi aku tidak melihat pemuda itu, maka aku tanyakan keberadaannya. Ada seorang yang memberitahuku bahwa pemuda itu tidak datang ke tempat ini kecuali hanya hari Sabtu.

Setelah tiba hari Sabtu berikutnya, aku pun datang ke tempat pangkalan para tukang bangunan, dan aku pun melihat pemuda itu. Setelah ia melihatku, ia tersenyum. Aku berkata: "Mari kita kerja lagi! Bismillah, dengan perjanjian seperti dulu."

Pemuda itu menjawab: "Iya." Dan kemudian ia berjalan bersama denganku menuju rumah.

Pemuda itu bekerja dengan sangat baik seperti kerja pada hari yang pertama, bahkan melebihi dari pekerjaan yang dulu. Akan tetapi ia hanya mau menerima ongkos satu dirham lebih satu haniq seperti semula.

Pada hari Sabtu yang ketiga, aku datang lagi ke tempat itu, ternyata aku tidak melihat pemuda itu. Aku pun menanyakan keberadaannya. Ada yang berkaya: "Bahwa ia sedang sakit di rumah kemah milik wanita tua di tengah-tengah padang belantara. Wanita itu terkenal sebagai orang shalehah dan ahli ibadah.

Kemudian aku langsung pergi menuju rumah kemah itu. Sesampai di rumah itu, aku melihat pemuda itu berbaring beralaskan tanah. Di bawahnya tidak ada suatu apapun. Di bawah kepalanya terdapat batu bata. Wajahnya cemerlang bersinar. Aku pun mengucapkan salam kepadanya dan ia menjawab salamku. Kemudian aku duduk di samping kepalanya sambil menangis karena melihat dia masih sangat muda namun menjadi pengembara.

"Wahai anak muda, kekasihku! Apakah engkau mempunyai suatu hajat?" tanyaku kepadanya.

"Iya," jawabnya. "Besok pagi datanglah ke tempat ini waktu Dhuha. Waktu itu aku sudah wafat, maka mandikan dan kafanilah aku di dalam rumah kemah ini, dan galilah kuburku di dalam rumah kemah ini juga. Dan jangan beritahukan kepada siapapun tentang kamatianku. Lalu robeklah kerah jubah ini dan keluarkan apa yang ada di dalamnya, dan simpanlah di tempatmu. Apabila engkau telah selesai menguburku, dan telah menyelesaikan urusanku, aku harap engkau menemui raja Harun ar-Rasyid dan serahkan kepadanya apa yang engkau dapatkan dalam kerah baju jubahku serta sampaikan salamku padanya."

Pada pagi harinya, aku pun datang ke rumah kemah itu. Ternyata benar ia sudah wafat. Mudah-mudahan Allah merahmatinya. Aku merasa susah yang amat sangat. Aku mulai memandikan, merawat, mengkafani dan menshalatinya dalam rumah kemah itu, juga menggali kuburnya di dalam rumah kemah itu pula, seperti yang telah ia wasiatkan kepadaku.

Selesai pemakaman, aku merobek kerah baju jubahnya. Aku menemukan sebuah permata yang indah senilai seribu dinar. Aku sangat takjub melihat ini semua. Aku pun berkata dalam hatiku: "Wallahi, pemuda ini bersifat zuhud secara sempurna." Selesai aku merawat pemuda itu, aku pun pergi meninggalkan tempat itu. Aku menunggu Harun ar-Rasyid keluar dari istananya.

Ketika beliau keluar dari istana dengan pengawalan yang ketat, aku pun menghadangnya di tengah pemuda perjalanan dan menyerahkan mutiara itu kepadanya. Ketika beliau melihat mutiara itu, beliau terjatuh dan pingsan. Para pengawalnya menangkapku dan mengelilingiku. Setelah beliau sadar, beliau berkata: "Lepaskan laki-laki itu!" Kemudian beliau memegang tanganku dan berjalan sambil menuntunku ke tempat duduknya seraya berkata: "Wahai saudaraku, apa yang di perbuat Allah kepada orang yang memiliki permata ini?"

Aku menjawab: "Ia sudah wafat." Mudah-mudahan Allah merahmatinya. Aku pun menceritakan kepada beliau segala sesuatu yang aku ketahui dari pemuda itu. Harun ar-Rasyid menangis dan berkata: "Dia anak yang dapat mengambil manfaat, dan aku seorang bapak yang merugi."

Kemudian beliau memanggil permaisurinya, permaisuri itu pun datang. Ternyata permaisuri itu laksana bidadari karena cantiknya. Ketika melihatku, ia ingin kembali. Harun ar-Rasyid berkata kepadanya: "Masuklah!" Permaisuri itu pun masuk dan mengucapkan salam. Harun ar-Rasyid memperlihatkan permata itu di hadapan permaisurinya. Ketika ia melihat mutiara itu, ia menjerit dan pingsan. Setelah sadar, ia berkata: "Wahai Amirul Mu'minin! Apa yang diperbuat laki-laki ini terhadap anakku yang memiliki permata ini?"

Harun ar-Rasyid berkata kepadaku: "Jelaskanlah kepada permaisuriku sifat-sifat anakku dan ceritakanlah bagaimana ceritanya anakku?!"

Aku pun menceritakan kepada permaisuri segala sesuatu yang aku ketahui dari pemuda itu. Permaisuri itu menangis sambil berkata: "Aduh...! Aku sangat rindu kepadamu, wahai anakku dan penenang hatiku! Alangkah senangnya aku, apabila aku dapat menyembuhkanmu ketika engkau tidak menemukan seorang penghibur." Kemudian permaisuri menangis sejadi-jadinya.
Baca juga: Kisah Wali Wafat di Masjidil Haram, Jenazahnya Hilang Tanpa Bekas
Harun ar-Rasyid berkata: "Wahai saudaraku! Pemuda itu adalah anakku. Ia bersamaku sebelum aku menjadi raja. Ia selalu pulang pergi bertemu dengan ulama', dan berteman duduk dengan orang-orang saleh. Ketika aku sudah menjadi raja, ia lari dan menjauh dariku. Aku berkata kepada ibunya: "Sesungguhnya anakmu ini ingin menggunakan waktu, tenaga, dan pikirannya hanya untuk beribadah kepada Allah swt. Maka berikanlah kepadanya sebuah permata yang dapat di manfaatkan apabila ia membutuhkannya."

Ibunya pun menyerahkan permata itu kepada anaknya. Aku melarang kepadanya agar tidak menahan (untuk mentasarufkan) permata itu. Setelah anakku menerima permata itu, ia pun pergi dan tidak ku dengarkan lagi beritanya sampai ia membuang dunia dan bertemu dangan Allah Tuhannya dalam keadaan bersih dan taqwa."

Kemudian Harun ar-Rasyid berkata kepadaku: "Wahai saudaraku, tunjukkan kepadaku dimana makamnya?!" Aku pun keluar bersamanya menuju makam putranya. Beliau menangis lama sekali dan minta kepadaku agar aku menemaninya sampai di sisi makam putranya. Aku berkata kepadanya: "Wahai Amirul Mu'minin! Sesungguhnya pada diri putramu, bagiku ada suatu mau'idzoh dan suri tauladan." Setelah itu aku pun meninggalkan Raja Harun ar-Rasyid dengan rasa susah atas wafatnya pemuda itu. Mudah-mudahan Allah merahmati dan meridlainya.

Hikmah cerita: Ini adalah salah satu contoh orang yang zuhud akan meninggalkan kenikmatan duniawi walaupun keluarganya bergelimbang dengan kenikmatan duniawi seperti harta, kedudukan, dan pengaruh yang sangat besar di tengah-tengah masyarakat.

Sungguh mulia sifat pemuda putra raja yang zuhud ini. Ia rela meninggalkan keluarga, kedudukan dan kenikmatan hartanya hanya untuk mendekatkan diri kepada Allah. Ia lebih senang hidup susah ketimbang hidup dengan bergelimbangan harta. Mudah-mudahan Kisah Putra Raja yang Zuhud ini dapat memotivasi kita semua untuk tidak terlalu mementingkan kehidupan duniawi.

Artikel Terkait

Salah satu santri TPQ Rahmatul Ihsan yang ingin berbagi pengetahuan di dunia maya.

Tambahkan komentar Anda
EmoticonEmoticon